SURABAYA, - Rilisnya perpanjangan cuti melahirkan dalam draft Rancangan Undang-Undang Kesejahteraan Ibu dan Anak (RUU KIA) menimbulkan berbagai respon dari masyarakat, terutama pada pekerja perempuan. Di sisi lain, sebagian besar orang khawatir akan konsekuensi dibalik dari kebijakan tersebut.
Meski demikian, para pakar meyakini RUU KIA dapat membantu semisal berkaitan dengan aturan lainnya. Sepaham dengan pernyataan itu, Ahli Hukum Ketenagakerjaan UNAIR Dr M Hadi Subhan SH CN MH mengungkapkan akan muncul masalah apabila RUU KIA tidak disinkronisasi.
“Kurang tepat itu maksudnya seolah-olah berdiri sendiri, bukan berarti bahwa RUU KIA bisa mengesampingkan UU Ketenagakerjaan. Kalau berdiri sendiri, perusahaan mengatur regulasi ketenagakerjaan lebih khusus daripada RUU KIA, ” ujar Direktur Kemahasiswaan UNAIR saat dihubungi pada Kamis (28/6/2022).
Jika mengarah dalam UU Ketenagakerjaan, jelas Hadi, pemerintah juga tak boleh lepas tangan. Bukan hanya mengatur ketentuan cuti, melainkan tidak mengatur konsekuensinya. Misalnya, 3 bulan penuh dibayar perusahaan, dan 3 bulan kemudian subsidi dari pemerintah dengan catatan, perusahaan tidak bisa memutuskan hubungan kerja (PHK, - red).
Baca juga:
PB IPSI Sudah Ambil Keputusan yang Bijak
|
“Sebenarnya, ada jaminan kehilangan pekerjaan. Orang yang di-PHK mendapatkan jaminannya 6 bulan diberikan gaji dari negara. Harapannya, kalau ada tambahan cuti melahirkan, negara juga mengcover. Andaikan dibebankan ke perusahaan, maka menyebabkan beberapa efek, termasuk perusahaan tidak kompetitif, harga produksi mahal, akhirnya import, ” paparnya
Peran Pemerintah
Menurut Dosen Fakultas Hukum UNAIR tersebut, ayah berperan penting untuk membantu ibu melewati masa pasca melahirkan secara psikologis, sehingga mengurangi fenomena stunting pada tumbuh kembang anak. Menanggapi terbatasnya akses pekerja perempuan, Prof Hadi menekankan pemerintah tidak boleh lepas tangan, sehingga kekhawatiran mereka tak ada.
Bila penerapan cuti melahirkan RUU KIA tidak dilakukan dengan benar oleh perusahaan, lanjutnya, hal itu justru menjadi tugas pemerintah, yakni Pengawas Ketenagakerjaan guna menjamin pelaksanaan perundang-undangan ketenagakerjaan sebagaimana mestinya. Secara konstitusional, pasal 27 berbunyi ‘setiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak berdasarkan kemanusiaan’.
“Memang ada sanksi, tapi secara administratif. Semisal, perusahaan melarang cuti atau memotong hak pekerja, nantinya Pengawas Ketenagakerjaan yang menangani dibawahi Kementerian Ketenagakerjaan, ” pungkasnya. (*)